Tambang Emas Freeport Milik Indonesia Bukan Amerika Serikat


Meski baru berakhir Kontrak Karya (KK) tahun 2021 nanti, namun keberadaan tambang emas terbesar di dunia, PT Freeport Indonesia (FI) sudah menjadi rebutaan. Tambang emas yang berada di Papua ini menjadi rebutan berbagai pihak, apalagi setelah Menteri ESDM Sudirman Said mengirim surat mengenai pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) oleh Ketua DPR Setya Novanto.

Sebagai dampaknya, Sudirman Said dipanggil dalam Sidang MKD (2/12) dan menyusul Dirut PT FI Maroef Sjamsoeddin (3/12). Setelah keduanya dipanggil, maka akan menyusul pengusaha peminyakaan Indonesia, Muhammad Riza Chalid. Sudirman said melaporkan kepada MKD bahwa Ketua DPR Setya Novanto telah bertemu Maroef dan Riza untuk membicarakan nasib Freeport pasca 2021 dengan mencatut nama Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla.

Dari rekaman pembicaran ketiga tokoh itu, terungkap peringatan dari Riza Chalid kepada Presiden Jokowi, dimana Riza menegaskan Presiden Jokowi akan jatuh dari kekuasaannya jika sampai nekat mengambilalih PT Freeport pasca 2021 dengan tidak memperpanjang Kontrak Karyannya sampai 2041 nanti.

“Saya ikut masuk ke Dharmawangsa ini, cost yang mereka bawakan sudah, tapi masih gedean mereka porsinya. Terlalu lama mereka itu boros. Saya yakin Freeport pasti jalan. Kalau sampai Jokowi nekat nyetop, jatuh dia,” tegas Reza kepada Maroef yang terungkap dalam rekaman pembicaraan tersebut.

PT Freeport Indonesia

Freeport Mc Moran Copper & Gold Inc, merupakan perusahaan pertambangan emas terbesar di dunia yang berkantor pusat di Phoenix, Arizona, AS dan memiliki anak perusahaan PT Freeport Indonesia (PTFI). Selain PTFI, anak perusahaan lainnya adalah PT. Irja Eastern Minerals and Atlantic Copper SA.

Sejak 1967, Freeport telah melakukan Perjanjian Kontrak Karya (KK) dengan pemerintah Indonesia untuk menambang tembaga (bukan emas dan perak) di Gunung Ertsberg. Perjanjian KK berlangsung selama 30 tahun dengan luas areal pertambangan 30 km persegi.

Namun dengan dalih akan berakhir 1997, Freeport sudah mengajukan Perjanjian KK baru pada 1991 selama 30 tahun sampai 2021, sehingga arealnya diperluas menjadi 25.000 km persegi yang mencakup Gunung Grasberg yang juga di Kabupaten Mimika.

Namun sesungguhnya Perjanjian KK baru antara pemerintah Indonesia dengan Freeport tahun 1991 itu bukan perjanjian untuk memperpanjang KK tetapi perjanjian terselubung untuk mengeksplorasi emas, perak dan tembaga di Gunung Grasberg, dekat Ertsberg.

Setelah mengeksplorasi emas, perak dan tembaga lebih dari 38 tahun di Papua (Freeport baru mengakui mengeksplorasi emas dan perak tahun 2005, sebelumnya hanya mengakui tembaga), saat ini Freeport McMoran Copper & Gold Inc, telah berubah menjadi perusahaan raksasa pertambangan emas terkaya sekaligus terbesar di dunia, dimana sahamnya diperjualbelikan di New York Stock Exchange (NYSE) AS.

Sementara penduduk asli Papua yang berada disekitar Freeport seperti suku Amungme, Kamoro, Dani, Nduga, Damal, Moni dan Ekari masih dililit kemiskinan dan hanya menyaksikan gemerlapan Freeport yang mengeruk kekayaan emas mereka untuk diangkut ke AS. Sedangkan pemerintah Indonesia hanya dapat pembagian royalti 1 persen, selebihnya 99 persen milik Freeport. Dengan demikian, pembagian hasilnya jelas sangat menguntungkan Freeport dan merugikan rakyat Indonesia.

Berdasarkan data selama 10 tahun terakhir, aset Freeport bertambah rata-rata 41,3 persen pertahun dan kenaikan produksi rata-rata 30 persen pertahun. Sementara total keuntungan bruto Freeport dari 2004-2008 sebesar 10,762 miliar dollar, sedangkan total penerimaan pemerintah Indonesia berupa pajak dan royalti hanya 4,441 miliar dolar. Pada 2009, Freeport mengaku memperoleh keuntungan sebesar 4,074 miliar dollar dan tahun 2010 sebesar 4,2 miliar dollar.

Freeport tidak ikut bertanggungjawab atas kerusakan lingkungan hidup termasuk pembuangan jutaan ton tailing (limbah tambang emas) di berbagai sungai di Kabupaten Mimika seperti sungai Ajkwa, selain mencemari perairan dengan air asam sehingga mengkontaminasi habitat mahluk hidup. Tidak hanya sungai Akjwa, lingkungan sekitar pertambangan dan laut dekat Kota Timika juga tercemar dengan hebatnya.

Maka tidaklah mengherankan jika pemerintah Presiden Gus Dur melalui Menko Perekonomian Rizal Ramli pada 2001 pernah menuntut ganti rugi 5 miliar dolar atas besarnya kerusakan lingkungan hidup yang terjadi akibat operasi penambangan sejak 1967, dimana waktu itu Freeport sudah menyanggupi membayar 3 miliar dolar.

Namun belum sempat terjadi negosiasi kesepakatan mengenai besarnya ganti rugi, Presiden Gus Dur keburu lengser. Sehingga sampai sekarang belum diketahui apakah telah terjadi kesepakatan besarnya pembayaran ganti rugi dan apakah sudah dibayarkan kepada pemerintah Indonesia.

Intervensi Militer AS

Perjanjian Kontrak Karya yang ditandatanggani pemerintah Indonesia dengan PTFI tahun 1991 lalu jelas tidak adil dan harus segera diadakan renegosiasi kembali untuk memperbesar bagi hasil bagi pemerintah Indonesia dari royalti 1 persen minimal menjadi 7 persen sebagaimana dituntut Menko Kemaritiman Rizal Ramli.

Pertama, KK ditandatanggani pada era pemerintahan Orde Baru, sementara pemerintahan yang dikenal tidak demokratis dan korup itu sudah lengser, sehingga KK perlu diperbaharui lagi.

Kedua, KK bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945, dimana hasil keuntungan pertambangan bukan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia, tetapi hanya memperkaya perusahaan pertambangan emas terbesar dan terkaya di dunia dari AS tersebut.

Ketiga, karena Freeport telah memulai menambang emas dan perak di Ertsberg sejak 1967 dan baru mengakuinya pada 2005, maka selama 38 tahun kekayaan alam Indonesia berupa emas dan perak telah dicuri Freeport. Untuk itu pemerintah Indonesia harus menuntut Freeport ke Pengadilan Arbitrase Internasional untuk mengembalikan harta karun yang telah dicuri tersebut.

Diperkirakan hingga sekarang Freeport telah mengeruk 724.700.000 ton emas murni dan 7.300.000 ton tembaga dari gunung Ertsberg dan Garsberg. Diperkirakan masih terdapat cadangan emas sebesar 1.430 ton dan tembaga 18.000.000 ton hingga berakhirnya KK tahun 2021. Setiap hari Freeport mengeruk 700.000 ton material yang menghasilkan 225.000 ton bijih emas. Sedangkan volume emas diperkirakan sebesar 2.500.000.000 ton.

Keempat, pemerintah Indonesia wajib kembali menuntut ganti rugi yang lebih besar lagi dari sebelumnya atas hebatnya kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan eksploitasi dan eksplorasi pertambangan yang dilakukan Freeport selama ini. Kalau sebelumnya pemerintah menuntut 5 miliar dolar, sekarang tuntutannya bisa mencapai 50 miliar dolar, juga sebagai kompensasi atas pencurian emas dan perak selama 38 tahun oleh Freeport di Papua.

Kelima, sebagaimana sering dikemukakan Menko Kemaritiman Rizal Ramli, sebelum KK kembali diregosiasi tahun 2019 nanti, maka royalti wajib dinaikkan dari 1 persen menjadi 7 persen, wajib divestasi saham Freeport hingga 40 persen dan saham pemerintah di Freeeport wajib dinaikkan, dimana sekarang hanya 9 persen saja.

Keenam, Presiden Jokowi harus berani dengan tegas mengatakan kepada Presiden Obama dan bos Freeport James R Moffet, bahwa pertambangan emas PT Freeport di Papua adalah sepenuhnya milik Indnesia, bukan milik AS. Presiden Jokowi tidak perlu takut akan dijatuhkan antek antek AS di Indonesia jika sampai mengakhiri perjanjian Kontrak Karya dengan PT Freeport Indonesia taahun 2021 nanti.

Ketujuh, meski memiliki pangkalan angkatan laut dengan ribuan pasukan marinir di Darwin Australia yang berjarak hanya 800 km dari Papua, AS tidak mungkin akan melakukan intervensi militer ke Papua jika pemerintah Indonesia memutuskan mengakhiri perjanjian Kontrak Karya dan mengambilalih sepenuhnya tambang gemas PT Freeport Indonesia tahun 2021 nanti. Sebab resikonya akan sangat berat jika Presiden AS pangganti Obama sampai memerintahkan intervensi militer terhadap Indonesia, negara Islam terbesar di dunia dengan jumlah penduduk mencapai 250 juta orang.

Penulis: Abdul Halim, (Reporter sharia.co.id)

SUmber: sharia.co.id