Baca Ini Sebelum Pilkada Serentak


Pada 9 Desember 2015 akan diselenggarakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di 269 daerah. Berdasarkan data di situs KPU, Pilkada serentak diikuti oleh 830 pasangan calon (paslon). Sebanyak 20 paslon di 9 propinsi, 698 paslon di 224 kabupaten dan 112 paslon di 36 Kota.

Sejak digelar Pilkada di Indonesia, setidaknya ada dua masalah besar yang tidak bisa dipandang remeh, yakni biaya yang sangat besar dan munculnya konflik horizontal. Tentu, masyarakat memiliki harapan yang besar terhadap Pilkada. Harapan akan terjadinya perubahan ke arah yang lebih baik. Akan tetapi, apakah harapan mereka langsung terjawab dengan adanya pemimpin yang dipilih langsung oleh rakyat? Dan bagaimana pandangan Islam terhadap pengisian jabatan kepala daerah?

Pertama, dalam hal kesejahteraan rakyat. Pemilu atau Pilkada sebagai cara untuk memilih kepala daerah adalah satu hal. Sementara kesejahteraan rakyat adalah hal yang lain. Bahkan, yang terjadi saat ini, Pilkada dipandang hanya menguatkan ekonomi politik oligarkis. Artinya, hanya orang-orang yang punya uang banyak atau dekat dengan orang-orang berduit yang mungkin terpilih. Akibatnya, ‘aspirasi’ yang paling pertama didengar oleh pejabat hasil Pemilu atau Pilkada adalah suara para pemilik modal atau penyandang dana kampanye. Sementara, kebijakan-kebijakan yang pro-rakyat akan sangat sulit direalisasikan.

Kedua, Pilkada tidak menjamin dan sulit menghasilkan pemimpin yang berkualitas, karena–sebagaimana point pertama–, orang yang sebenarnya berkualitas, hanya karena tidak memiliki ‘mahar politik’ atau kendaraan politik, tidak bisa maju sebagai kandidat, bersaing dengan pasangan lain yang memiliki akses dana besar. Kalaupun calon independen disetujui elite di DPR, bagaimana mungkin mengenalkan diri ke publik agar masyarakat memilihnya, kalau tidak ada biaya kampanye dan sosialisasi?

Ketiga, Pilkada tidak serta merta akan menghasilkan pemimpin yang betul-betul diinginkan oleh rakyat, karena—hingga saat ini—masyarakat hanya ‘dipaksa’ untuk memilih paket pasangan yang sudah ada, yang sudah ditentukan oleh Partai Politik. Itulah sebabnya, saat ini yang terjadi adalah ‘kedaulatan partai politik’, bukan kedaulatan rakyat. Jadi sesungguhnya yang disebut demokrasi pun ternyata tidak demokratis juga.

Keempat, para kandidat dalam Pemilu atau Pilkada, lazimnya harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit, milyaran hingga puluhan milyar rupiah. Di sisi lain, menurut PP 109/2000 ditetapkan, gaji pokok gubernur Rp 3 juta per bulan. Jika ditambah dengan tunjangan-tunjangan, jumlahnya sekitar Rp 25 hingga 30 jutaan per bulan. Maka, kalaupun semua uang itu ditabung selama lima tahun—tanpa dikurangi pengeluaran-pengeluaran pribadi—maksimal uang yang terkumpul hanya Rp 1,8 milyar. Lalu,–mohon maaf—mewakili pertanyaan banyak orang, “darimana menutupi ‘mahar politik’, biaya kampanye, dan biaya lainnya kalau gaji yang diakumulasikan selama 5 tahun sekalipun, hanya 1,8 milyar?” Lalu, kapan waktu kepala daerah memikirkan urusan rakyat?



Pengisian Jabatan Kepala Daerah dalam Islam

Dalam Islam, kepala daerah (wali) adalah jabatan yang ditunjuk oleh khalifah (Kepala Negara), tentu dengan mempertimbangkan aspirasi masyarakat yang tidak bertentangan dengan syariat. Ketika Rasulullah saw. telah hijrah ke Madinah, Beliau langsung menjalankan aktivitas sebagai kepala pemerintahan, diantaranya dengan mengangkat para wali (gubernur). Rasulullah saw. mengangkat Utbah bin Usaid menjadi gubernur di Kota Makkah tidak lama setelah menaklukkannya. Setelah Badzan bin Sasan memeluk Islam, mengangkat Muadz bin Jabal al-Khazraj menjadi gubernur Jaud, mengangkat Khalid bin Said bin ‘Ash menjadi pegawai di Shun’a’, Zayyad bin Labid bin Tsa’labah al-Anshari bertugas di Hadramaut, mengangkat Abu Musa al-Asy’ari menjadi gubernur Zabid dan And, Amru bin Ash menjadi gubernur Oman, Muhajir bin Abi Umayyah menjadi gubernur Shu’a’, Adi bin Hatim menjadi gubernur Thayyi’, dan Al-‘Illa bin al-Hadhrami menjadi gubernur Bahrain.

Olehkarenanya, dalam Islam sebagaimana yang dipraktekkan oleh-contoh terbaik—Rasulullah saw, kepala daerah (wali) ditunjuk oleh Kepala Negara, dalam hal ini oleh Rasulullah saw dan diteruskan oleh para khalifah setelah beliau.

Menurut hemat saya, ada beberapa hikmah atau ‘keuntungan’, jika kepala daerah (wali) ditunjuk langsung oleh kepala Negara, diantaranya:

Pertama, biayanya pasti murah dan efisien, karena hanya memerlukan selembar SK (Surat Keputusan) pengangkatan. Tidak ada ‘mahar politik’ dan tidak ada kampanye yang menghabiskan dana besar.

Kedua, akan terjadi sinkronisasi dan harmonisasi gerak langkah antara pemerintah pusat dengan daerah. Alasannya, orang yang menunjuk (Kepala Negara) pasti mengenal dan mengetahui orang yang ditunjuk. Minimal kapabilitas, pemahaman, dan komitmennya. Dimanapun dan dalam hal apapun, kekompakan dan kesolidan tim, terlebih dalam mengelola pemerintahan, adalah modal dasar untuk menjalankan pembangunan. Jika –misalnya—gubernur, karena tidak ditunjuk Kepala Negara, dan tidak merasa berada di bawah struktur Kepala Negara, sehingga berani mengabaikan kebijakan pimpinannya, lalu bagaimana mungkin pembangunan akan berjalan dengan baik?

Ketiga, ada semacam anggapan, jika kepala daerah ditunjuk langsung, maka akan menghasilkan pemimpin yang tidak aspiratif. Perlu diketahui, bahwa penunjukkan kepala Negara terhadap kepala daerah harus memperhatikan aspirasi masyarakat (sekali lagi, yang tidak bertentangan dengan syari’ah), sehingga bisa saja seorang kepala daerah diberhentikan atau diganti jika rakyat daerah tersebut tidak menyukainya atau karena wali (kepala daerah) tersebut melakukan pelanggaran. Dalam Islam, jika suara mayoritas Majelis Wilayah (wakil rakyat di daerah) menilai bahwa seorang wali (gubernur) tidak layak menjadi seorang pemimpin, maka mengharuskan khalifah (kepala Negara) untuk mencopot wali tersebut. Rasulullah pernah memberhentikan ‘Ila’ bin al-Hadrami yang menjadi amil beliau di Bahrain karena utusan Abd Qays mengadukannya. Umar bin Khathab memberhentikan Saad bin Abi Waqash karena pengaduan masyarakat. Olehkarena itu, penunjukkan wali (kepala daerah) oleh kepala negara, bukan berarti tidak bisa diganggu gugat dan mengenyampingkan aspirasi serta pengaduan rakyat.

Sebaliknya, saat ini marilah kita tengok gubernur atau bupati dan walikota yang –katanya—hasil pilihan rakyat. Sebagai contoh Jakarta, yang gubernurnya dipilih langsung rakyat, mengesahkan Perda Ketertiban Umum (Tibum) yang mendeskreditkan orang miskin, bahkan seolah menganggapnya sampah kota yang tidak boleh terlihat mata kita. Tidak hanya itu, Pasar Barito pun menjadi korban penggusuran, tanpa solusi konkrit dan sejumlah penggusuran lainnya. Hal yang hampir sama juga terjadi di Depok. Pemkot menggusur paksa pedagang kaki lima (PKL) yang berjualan di depan Kampus Gunadarma Kelapa II dengan mengangkut lapak dan gerobak milik PKL. Dan hal yang hampir serupa terjadi juga di beberapa daerah lainnya. Lalu, jika ada kepala daerah yang memperlakukan rakyatnya seperti itu, dan kita memprotesnya, boleh jadi dia (kepala daerah itu) akan mengatakan, “Mohon maaf, saya adalah gubernur/walikota/bupati pilihan rakyat, jika Anda tidak senang kepada saya, maka tunggu saja 5 tahun lagi, pilihlah –lagi—pemimpin yang mau menuruti keinginan Anda”.

Maka, metode penentuan kepala daerah dalam Islam, dapat menjadi contoh buat kita bahkan harus diikuti, bukan hanya karena dicontohkan Rasulullah dan para Shahabat, akan tetapi karena metode-nya yang rasional, efektif dan efisien.